Rabu, 30 April 2014

“DUA BLOG SATU JIWA”

Ini selingan biar nggak mikir berat berat terus. Bahasa yang kami gunakan untuk menulis artikel ini pun bukan bahasa baku sebagaimana yang diajarkan di buku-buku. Kami menggunakan bahasa yang seringan-ringannya, sebagaimana sedulur semua yang isi komentar diblog ini. Jadi harap maklum saja hehe

Jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Cuaca di luar agak dingin. Maklum musim hujan. Saya mengambil laptop dan meletakkannya di teras padepokan. Sejenak kemudian mas kumitir datang dengan menenteng notebooknya. Dua notebook kami buka bersamaan di tikar yang sudah usang. Tak lupa terlebih dulu olor olor kabel untuk colokan. Akhirnya, kami pun tenggelan dalam kesibukan masing-masing. Satu mentranslate naskah-naskah kuno, satu lagi membuka admin blog dan uprek-uprek jeroannya.

Kopi kental saya bikin. Air masak dan kopi sachet yang kami beli di warung tetangga pun kami tuangkan di dua gelas. Ditemani rokok, kopi pun siap disruput. Dua makhluk ini menjadi teman kami berkonsentrasi, menyuguhkan artikel-artikel di KWA. Biasanya semakin malam, Ki Camat juga mampir usai bertugas, sambil membawakan banyak bungkus rokok beserta isinya. Jadi bukan bungkusnya saja.

Lagu lagu mocopat pun kami putar, PRATIKELE WONG AKRAMI, DUDU BRONO DUDU RUPO….. AMUNG ATI PAWITANE….

Kami merasa sangat bahagia, bisa hadir menemani para sedulur se tanah air yang berkunjung ke blog sederhana ini. Kadang kami tertawa-tawa kecil membaca komentar dari para sedulur yang rata-rata lucu, remeh temeh dan menggelikan. Di sela-sela seriusnya artikel-artikel kiriman para sedulur yang ingin share, komentar lucu seperti PERTAMAXXX menjadi hiburan kami.

Kebahagiaan memang susah dicari di jaman serba materialistik ini. Dan entah kenapa kami menemukannya saat bisa menemani hari-hari sedulurku semua. Kami sadar bahwa sedulur pengakses blog sudah bersusah payah membuka blog, membaca artikel, dan mengeluarkan biaya untuk internetan… sehingga meskipun blog ini diracik secara sederhana, namun kami sungguh sungguh serius dan tidak pernah main-main menyajikan artikel.

Kami sadar, tugas kami cukup berat yaitu mengarahkan jalannya diskusi, jalannya arus pemikiran dan mainstream agar terwujud visi dan misi bersama yaitu melestarikan budaya kita sendiri. Blog KAMPUS WONG ALUS (KWA) untuk melestarikan budaya mistik nusantara yang selama ini tersimpan di tembok-tembok padepokan, sementara blog ALANG ALANG KUMITIR (AAK) untuk melestarikan budaya dan sastra yang selama ini berbentuk manuskrip-manuskrip yang ada di universitas baik di dalam negeri maupun kebanyakan justeru ada di luar negeri. Termasuk naskah-naskah yang ada di keraton.

Sesungguhnya dalam babad, serat dan suluk berbahasa daerah sangat kental dengan ajaran-ajaran tasawuf. Dan banyak orang yang tidak memahaminya karena keterbatasan bahasa. Di sinilah kenapa AAK ingin menyajikan dalam naskah aslinya karena bila distranslate ke dalam bahasa Indonesia akan mereduksi kekayaan maknanya. Kami memang sedikit banyak berhati-hati meskipun bermuatan ajaran tasawuf namun kami menyajikannya tetap dalam bingkai budaya dan sastra.

Di sela-sela aktivitas ngeblog, kami tidak beda jauh dengan sedulur semua. Kebetulan saya teman kerja dengan Mas Kumitir di sebuah instansi. Setiap hari saat istirahat kerja, kami cangkrukan di sebuah kedai kopi di pinggir kantor pengadilan. Setiap hari aktivitas di depan pengadilan cukup tinggi. Kendaraan kejaksaan hilir mudik mengangkut para tersangka yang akan duduk di kursi pesakitan. Kami pun merenung, di dunia ini banyak orang “salah”. Kenapa dianggap “salah?”

Itu karena di dalam pikiran masyakat ada sebuah konsensus nilai-nilai benar dan salah dan itu sudah terkodifikasi dalam norma dan aturan hukum. Kami pun meneruskan laku olah pikir… Begitu dengan budaya. Budaya adalah hasil olah kamanungsan, ya olah pikir namun ya olah batin.,, sehingga akhirnya kami pun ingin sedikit urun saran agar para sedulur semua memiliki preferensi nilai-nilai pembanding, baik buruk benar salah indah dan tidak indah. Inilah budaya yang lebih luas cakupannya daripada hukum.

Negara dikatakan negara maju dan modern bila memiliki kesadaran tinggi terhadap budaya. Bila orang punya kesadaran budaya yang tinggi maka dia akan menjadi pribadi yang disiplin, taat aturan, menjunjung tinggi etika dan sopan santun dan sebagainya. Agka kriminalitas akan menurun bila orang-ornag berbudaya. Nah, bukankah ini juga sesuai dengan anjuran agama? Kenapa di negeri tercinta ini warganya masih enggan untuk memajukan sektor budaya? Budaya masih dianaktirikan dan dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan. Selain pembangunan fisik seperti jalan raya, gedung-gedung, dan jembatan. Pembangunan juga harus menyasar dan menyisir wilayah-wilayah psikologi sosial masyarakat, serta budaya.

Oh, kok serius banget kita ngobrolnya… Saya akhirnya terpaksa menghentikan artikel ini karena kemudian ngelantur terlalu jauh. Inilah kesalahan saya, yang kebanyakan minum kopi dan rokok klobot khas pak tani. Maklum, dompet kami tidak tebal tidak setebal para koruptor maupun markus hehe.

Kopi pun kami sruput kembali, lho mas… kok pulsanya habis.. terpaksa kami pun pergi ke penjual pulsa agar bisa internetan kembali dan upload naskah para sedulur KWA…. ahai, Ki Camat datang, sosok dewa penolong ini pun mengeluarkan selembar melati untuk beli pulsa berdua… satu bulan ke depan, nyawa dua blog ini pun selamat.

Nuwun, salam KWA-ngen dari kami berdua….

Sidoarjo, 12 Desember 2010 Pukul 23.20 WIB

WONG ALUS
MAS KUMITIR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar